Minggu, 29 November 2009

Waspadai Bangunan Berbentuk Asimetris

Bangunan tahan gempa kini merupakan solusi terbaik bagi upaya
pengurangan korban jiwa dan harta yang timbul akibat bencana
tersebut. Meski sudah ada berbagai model konstruksi bangunan tahan gempa dan telah diterapkan di bangyak negara, faktanya gedung dan korban jiwa masih saja berjatuhan.

GEMPA tektonik di Sumatera Barat pada 30 September lalu, yang berkekuatan 7,6 pada Skala Richter (SR), menyebabkan sedikitnya 1.100 orang tewas dan ribuan jiwa lainnya terperangkap dalam reruntuhan bangunan serta tanah longsor.

Sebelumnya, gempa di Tasikmalaya (Jawa Barat) dan sekitarnya pada 2 September lalu, berkekuatan 7,3 SR, menelan korban jiwa 23 orang, dan sekitar 3.586 rumah penduduk rusak berat.

Kejadian serupa pernah dialami sejumlah negara. Empat tahun lalu, gempa bumi di Asia selatan (berpusat di Kashmir, Pakistan), yang berkekuatan 7,6 SR menewaskan 1.500 orang lebih.

Kemudian gempa bumi kuat di Bram, barat daya Iran, berkekuatan 6,5 SR (2003) menyebabkan 41.000 orang tewas.
Gempa di Turki (1999) berkekuatan 7,4 SR merenggut 17.000 nyawa.

Di Kobe, Jepang (1985; 7,2 SR) menewaskan 6.000 orang, di Armenia (1988; 6,9 SR) menelan korban 25.000 orang, di Meksiko (1985; 8,1 SR) 9.500 jiwa, Rumania (1977; 7,4 SR) 1.570 orang, dan masih banyak lagi.

Gempa yang menimpa negara-negara tersebut menewaskan ribuan manusia dan merontokkan sejumlah bangunan. Hasil pengujian tentang pengaruh gempa terhadap bangunan di Meksiko membuktikan adanya variabel baru —sebetulnya tak baru— yang selama ini luput dari perhitungan, yaitu periode alamiah tanah.

Selama ini, variabel yang diperhitungkan melulu kekuatan gempa belaka, sehingga menimbulkan kesan egoisme dalam penciptaan konstruksi dan struktur bangunan.

Maksudnya, pusat perhatian condong ke penciptaan ketahanan dari gedung dan cenderung mengabaikan kemungkinan-kemungkinan di luar itu.

Alhasil, kalau variabel baru ini kelak betul-betul dominan, maka para pakar gempa bakal kaget. Pasalnya, belum ada satu pun lahan di bumi ini sudah terindikasi periode alamiahnya, karena memang belum ada penelitian ke arah itu.

Jangankan periode alamiah tanah, periode alamiah gedung pun belum pernah diperhitungkan. Padahal, kata hasil pengujian di Meksiko, interferensi antara getaran tanah dan getaran gedung merupakan inti persoalan mengapa hotel bintang lima semacam Hotel Ambacang bisa ambruk saat terjadi gempa.

Sangat dianjukan pada akhirnya agar periode alamiah tanah di berbagai kota untuk diteliti. Sebab, kalau data periode alamiah tanah ini sudah dipetakan, bisa dijadikan pathokan gedung berapa lapis yang rawan di suatu tempat.
Mazhab Bangunan Mengapa para pakar memusatkan perhatiannya melulu pada ketahanan dari bangunan yang akan dibuat? Ada beberapa faktor, antara lain kesulitan melakukan pengujian laboratorium tentang perangai konstruksi dan konstruksi bangunan mengantisipasi guncangan gempa, juga karena teramat jarang dan tidak terduga kemunculan gempa itu sendiri

Meski demikian, dari sana lahir dua mazhab bangunan tahan gempa yang cirinya bisa terlihat dari sosok bangunannya.

Pertama, Metode Desain Statis (Static Desain Method). Prinsip pokoknya adalah melawan kekuatan gempa dengan kekokohan struktur dan konstruksi bangunan.

Akibatnya, bangunan kelihatan kaku, angker, dan monumental. Untuk mengurangi hal ini, biasanya dibuat motif-motif berkesan luwes.

Misalnya sudut-sudut yang laminer (ornamentik) yang banyak dijumpai pada gedung-gedung peninggalan kolonial Belanda dan Spanyol di Indonesia. Karena penganut berat metode ini, Belanda jadi terkemuka sebagai ahli konstruksi bendungan raksasa di dunia.

Kedua, Metode Desain Dinamis. Disebut demikian, karena prinsip dasarnya tidak memadukan kekuatan dengan kekuatan, tetapi berupaya meredam dan menyerap energi perusak yang dipancarkan gempa itu. Karenanya, bangunan terlihat luwes, pegas, kontemporer, dan enak dipandang.

Jeleknya, arsitek menjadi lebih leluasa mengumbar imajinasinya, tetapi insyinyur sipil pusing tujuh keliling menghitung gaya-gaya dan komposisi bahan.

Celakanya lagi, jika gedung itu berdiri megah, yang terkenal adalah arsitekturnya. Tetapi kalau kebetulan rubuh, sasarannya pasti insyinyur sipilnya.

Prof Kiyoshi Muto, pencetus Metode Desain Dinmais di tahun 1950-an, pernah mengeluh bahwa Jepang yang nyaris tiada hari tanpa gempa justru didominasi penganut Metode dan Desain Statis. Tak dijelaskan apa alasannya.

Hanya saja, Teori Muto banyak diadopsi di AS dan Indonesia (dapat dilihat pada Wisma Nusantara Jakarta).

Pendek kata, para ahli yakin betul kalau kedua metode ini mampu mengatasi gempa bumi, sekaligus dapat menyelamatkan sejumlah besar bangunan dan jiwa manusia yang ada di dalamnya. Tetapi harapan tinggal harapan.

Gempa di Meksiko (19 September 1985), misalnya, telah menasbihkan lain. Kalau betul, hal ini jelas akan mengubah sejarah metode bangunan tahan gempa yang selama ini sudah ’’mapan’’.

Gempa berkekuatan 8,1 SR itu menghancurkan sekitar 400-an gedung besar-kecil dan tinggi-pendek di Meksiko City. Padahal dilihat dari struktur dan konstruksinya, semua gedung telah menerapkan kedua metode tersebut.

Di sebelah gedung-gedung yang ambruk itu, masih ada gedung yang tetap berdiri tegar, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Mengapa bisa demikian ?

Mungkin sebelumnya para pakar belum yakin betul pada kedua mazhab yang ada. Karena itulah, Meksiko City tetap dicurigai bakal dihantam gempa kuat lagi, sehingga jauh-jauh hari sudah dipasang berbagai alat pengukur getaran gempa supersensitif di segala sudut bumi dan gedungnya.

Menurut Prof Emilio Rosenblueth, pakar struktur bangunan pada Universitas Nasional Meksiko, gedung-gedung yang ambruk itu ternyata beresonansi dengan getaran gempa 1985. Maksudnya, gedung-gedung ini mendapat getaran yang sama dengan getaran alamiahnya.

Ini berarti, getaran gempa tersebut sama persis dengan getaran alamiah gedung. Sayangnya, tidak dirinci lebih jauh bagaimana jika periode alamiah gedung dan tanah itu berbeda: lebih besar atau lebih kecil.

Sedangkan Esteva Maraboto, pakar struktur tanah pada Universitas Autonomous Meksiko, yakin bahwa kebanyakan lahan di Meksiko City bergetar dengan periode 2 detik ketika dilewati gempa. Ini terbukti dari sebagian besar gedung yang ambruk (tingkat 6-20) memiliki periode alamiah 2 detik juga.

Sementara gedung yang masih kukuh berdiri, seperti Latin American Tower (dibangun 1950-an, bertingkat 37) memiliki periode alamiah 3,7 detik sehingga lolos dari guncangan gempa. Sebetulnya gempa Meksiko memancarkan gelombang dengan aneka periode.

’’Namun karena lahan Meksiko City bermacam-macam, maka gelombang-gelombang gempa yang menjalar mengalami penyaringan. Ada getaran yang diperkuat, tapi ada juga yang diperlemah. Nampaknya, dalam gempa di Meksiko, getaran yang pendeknya 2 detik itulah yang diperkuat,’’ jelas Estawa.
Struktur Tanah Meski temuan baru itu masih memiliki sisi gelap, misalnya apakah periode itu dipengaruhi oleh kekuatan gempa, secara historis tidak ada jeleknya untuk dikaji.

Secara eksplisit, penemuan para ahli di Meksiko itu mengamanatkan kepada kita agar lain kali struktur tanah juga dijadikan variabel dalam perhitungan mendirikan bangunan.

Untuk itu, perlu analisis dan penelitian lebih mendalam tentang keadaan tanah tempat gedung itu sendiri. Jika periode alamiah lahan berbagai kota atau tempat penting di dunia berhasil diidentifikasi dan dipetakan, maka banyak manfaat yang bisa dipetik, baik secara sosial, ekonomi, dan keselamatan.

Perlu dibuat panduan praktis dalam membangun gedung di suatu tempat, gedung tingkat berapa saja yang aman, dan tingkat berapa saja yang rawan.

Soalnya, terbukti bahwa yang lebih pendek tidak selalu tahan terhadap guncangan gempa.

Temuan lain yang layak disimak adalah bentuk bangunan yang dianggap ringkih atau rentan gempa. Hasil telaah gempa Meksiko itu menjunjukkan, gedung berbentuk asimetris paling gawat.

Sebab, bentuk gedung seperti itu tidak memiliki periode alamiah yang seragam pada bagiannya. Jika dilewati gempa akan terjadi saling tarik dan saling dorong di bagian-bagian gedung tersebut.

Warning ini bisa dijadikan kajian di Indonesia. Misalnya Hotel Indonesia yang berbentuk asimetris, maka berhati-hatilah. Gedung yang bagian bawahnya lowong maupun bagian atasnya bersekat sekat juga rapuh jika dihantam gelombang gempa.

Karena, secara vertikal, membuat kepadatan gedung jadi berbeda dan ini menimbulkan perbedaan periode alamiah di berbagai bagian gedung tersebut.

Makin tinggi suatu gedung, makin panjang periode alamiahnya, Karena itu, hindarilah membangun gedung yang berbeda tingginya saling berdampingan atau berdekatan. Sebab jika terjadi goncangan gempa, arah goyangan bisa saling hantam. Begitulah kata pakar konstruksi bangunan tahan gempa.

Pondasi merupakan bagian terpenting suatu bagunan. Tetapi bangunan yang disebut tahan gempa harus ada syaratnya. Pondasi yang terletak pada silinder baja sudah teruji kehandalannya dalam meredam getaran gempa. Tapi, ya itu tadi, mahal bayarnya.

Delta Plaza di Surabaya konon menerapkan sistem pondasi jenis ini, dengan risiko menekan biaya 25 - 30 persen dari biaya pembangunannya yang mencapai Rp 3 miliar. Mahal kan ? (Amien Nugroho-32)


Bagi masyarakat Minang, Hotel Ambacang yang terletak di Kota Padang, Sumatera Barat, merupakan ikon baru karena keindahannya. Sebelum menjadi hotel, bangunan tersebut hanyalah berupa pertokoan dan arena bermain dengan nama Telaga Ambacang dan terletak di Jl Bundo Kanduang dan hanya terdiri dari 2 lantai. Bahkan di jaman belanda, di lokasi itu berdiri kantor Central Trading Company (CTC) dan Handelsvereeniging Harmsen Verwey & Dunlop N.V. (Harmsen Verwey & Dunlop N. V. Trade Center). Baru pada tahun 2005, Telaga Ambacang dipugar. Pusat pertokoan itu berubah menjadi Hotel Ambacang berlantai 6.
Gambar berikut yang saya ambil dari Flikr menunjukkan keindahan dari Hotel Ambacang



Hal utama dalam merencanakan Struktur satu bangunan adalah harus mengikuti “Code Gempa” yang telah ditetapkan untuk setiap daerah yang ada di Indonesia, jadi tidak masalah strukturnya pakai beton maupun baja.
Struktur baja pun bisa runtuh, kalau pondasinya tidak diperhitungkan terhadap gempa.
Juga pemilihan jenis pondasi (dangkal atau dalam) sesuai dengan kondisi tanah yang ada, juga sangat menentukan kuat-tidaknya bangunan tersebut terhadap gempa.
Umumnya yang bisa terjadi dalam pembangunan satu Gedung adalah :
1. Perencanaan Struktur tidak mengikuti “code gempa” yang berlaku.
2. Pelaksanaan tidak mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh konsultan struktur dan standar pengerjaan struktur beton (pembesian & pengecoran).
2. Pemilik minta dikurangi strukturnya, karena kalo mengikuti “code gempa” yang ada maka jadi mahal harganya. Misalnya dari ketahanan terhadap gempa 7 SR “dikorting” jadi 5 SR.
3. IMB yang seharusnya tidak boleh dikeluarkan karena tidak sesuai peraturan yang berlaku, namun tetap diterbitkan juga.
Dalam ilmu teknik sipil ada 3 hal utama yang saling terkait:
- Perencanaan pembebanan (beban hidup, beban angin, beban gempa, dll)
- Material konstruksi
- Desain struktur
Inti dari ilmu teknik sipil adalah bagaimana mendesain struktur bangunan sedemikian rupa sehingga mampu memikul beban yang ada, dengan memanfaatkan material yang tersedia dan dengan biaya yang seekonomis mungkin.
Yang perlu ditelusur adalah:
- Pertama. Apakah dalam merancang bangunan tersebut sudah memperhitungkan beban gempa?
- Kedua. Kalau sudah memperhitungkan beban gempa, seberapa besar beban gempa yang diperhitungkan dalam perancangan bangunan tersebut. Untuk hal ini, pemerintah sudah punya rekomendasi tentang standardisasi pembebanan.
- Ketiga. Kalau pembebanan sudah diperhitungkan, apakah desain strukturnya sudah benar?
- Keempat. Kalau desain struktur sudah benar, apakah dalam membangun gedung tsb. kualitas material yang dipakai sudah sesuai dengan yang ada dalam perencanaan.
Jadi masalahnya bukan di material beton dan bajanya. Kalau kebetulan material beton lebih mudah didapat, maka si Insinyur bisa mendesain konstruksinya sesuai dengan karakteristik beton. Bangunan tanpa baja belum tentu tidak tahan terhadap gempa, coba amati bangunan2 peninggalan belanda yang tidak pakai baja dan lihat apakah banyak yang mengalami kerusakan parah karena gempa?
Kalau dari sisi karakteristik material, baja memang lebih bagus kekuatan tariknya tapi juga punya kelemahan dalam menahan beban tekan. Sedangkan beton, bagus sekali kekuatan tekannya, tapi lemah di kekuatan tarik. Seperti saya utarakan, tugas Insinyur adalah mendesain struktur bangunan sedemikian rupa sehingga mampu memikul beban yang ada, dengan memanfaatkan material yang tersedia dan dengan biaya yang seekonomis mungkin.
Material “beton bertulang” adalah material yang menggabungkan kelebihan kekuatan tarik yang dimiliki oleh “beton” dan kekuatan tarik dari baja tulangannya. Jadi beton bertulang selain mempunyai kekuatan tekan yang bagus, juga punya kekuatan tarik yang bagus juga. Besarnya konposisi kekuatan tekan dan tarik pada material “beton bertulang” tergantung kepada komposisi kepada:
- Mutu kuat tarik baja tulangan.
- Mutu kuat tekan betonnya.
- Ukuran/dimensi baja tulangan, utamanya adalah total luas penampang baja tulangan yang merupakan kombinasi dari jumlah dan diameter baja tulangan.
- Ukuran/dimensi betonnya.
- Posisi baja tulangan dalam material beton bertulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar